Pidana mati dalam ruang redaksi

Kemarin pro-hukuman mati, besoknya mengaih restitusi.

NOTA PEMBELAAN
7 min readJan 9, 2023

Alih-alih jadi tempat menjalankan demokrasi, ruang redaksi justru cenderung menciptakan kediktatoran. Klaim ini bukan kesimpulan pribadi saya setelah bekerja sebagai jurnalis selama tiga tahun lebih. Saya mendapatkannya lewat Kovach dan Rosenstiel saat keduanya menerangkan elemen jurnalisme kesembilan: Jurnalis wajib mendengarkan hati nuraninya. Namun dalam praktiknya di lapangan, hati nurani jurnalis kerap kali terbentur keputusan redaksi.

Ini dapat dimaklumi. Sebab, operasi kerja sebuah media massa seperti surat kabar akan semakin rumit jika setiap jurnalis menyuarakan hati nuraninya ke ruang redaksi. Biar bagaimanapun, pucuk pimpinan redaksi harus mengambil keputusan akhir terkait naik tidaknya sebuah tulisan.[1] Betapa pun pahitnya kenyataan, kondisi demikian jangan dipandang sebagai status quo. Barangkali ada strategi yang perlu dipikirkan ulang agar hati nurani jurnalis dapat tembus ke ruang redaksi.

Harian Media Indonesia, tempat saya bekerja, memuat berita di halaman luar pada Kamis (5/1) lalu mengenai penolakan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang diajukan Herry Wirawan, uztaz sekaligus pemerkosa belasan santriwati di Bandung, Jawa Barat. Arah tulisan sesuai dengan judul berita: Hukuman Mati Pantas untuk Pelaku Kejahatan Luar Biasa. Tulisan itu dimulai dengan menjelaskan implikasi dari penolakan kasasi Herry oleh MA, yakni pidana mati sebagaimana putusan di pengadilan tingkat banding yang mengoreksi pidana penjara seumur hidup di pengadilan tingkat pertama.

Berita tersebut diperkuat dengan keterangan tertulis Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga yang tidak menoleransi kasus kekerasan seksual serta kutipan mantan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti yang menilai hukuman mati, “Pantas diterima Herry”. Pernyataan kedua narasumber itu ditulis oleh rekan saya.

Sementara itu, saya sendiri berkontribusi menambahkan pandangan dari pengamat hukum pidana terkait realisasi eksekusi mati di Indonesia yang ditangguhkan sejak 2016. Kontribusi itu didasarkan dari hasil rapat redaksi pada Rabu (4/1) siang untuk melengkapi pernyataan Bintang dan Retno. Sebagai langkah inisiatif, saya juga menyertakan pernyataan Ketut Sumedana selaku Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung yang menegaskan bahwa kejaksaan, di era kepemimpinan Jaksa Agung Sanitar Burhanuddin, tidak memiliki program eksekusi mati.

Pada Jumat (6/1), Media Indonesia memuat headline di halaman 2 berjudul Prioritaskan Pemberian Restitusi bagi Korban sebagai follow-up berita soal Herry. Teras tulisan langsung menyentuh hal ihwal restitusi yang harus dibayarkan kepada para korban — elemen yang sama sekali tidak disinggung dalam berita soal Herry pada edisi Kamis (5/1). Berbeda dengan Hukuman Mati Pantas untuk Pelaku Kejahatan Luar Biasa, saya bertanggung jawab sepenuhnya atas tulisan Prioritaskan Pemberian Restitusi bagi Korban.

Narasumber yang saya pilih antara lain Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi, pengajar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar, dan peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati. Semua menanggapi soal restitusi dan tantangan pembayarannya sebagai konsekuensi dari pidana mati Herry. Pidana mati sendiri merupakan hukuman maksimal yang pada dasarnya menyerap sanksi pidana lainnya. Artinya, ada celah bagi Herry untuk tidak membayar restitusi tersebut. Kendati demikian, Edwin menyebut bahwa Herry telah komit untuk membayar restitusi dengan total Rp331 juta lebih kepada 12 santriwati yang menjadi korbannya.

Pendapat yang berpandangan bahwa berita Prioritaskan Pemberian Restitusi bagi Korban kontradiktif dengan Hukuman Mati Pantas untuk Pelaku Kejahatan Luar Biasa pun tak dapat dihindarkan. Itu mudah dipahami karena kedua tulisan mengambil dua sudut pandang yang berbeda. Yang satu membahas lebih jauh soal restitusi dan keadilan bagi korban, yang satu lagi menarik titik ekstrem pidana mati sebagai roh tulisan. Kemarin pro-hukuman mati, besoknya mengaih restitusi.

Awal mula

Itu Kamis (5/1) pagi saat saya membaca pertama kali tulisan Hukuman Mati Pantas untuk Pelaku Kejahatan Luar Biasa. Dan jujur saja, saya langsung tidak menyukainya. Namun, kan, saya tidak punya kekuatan dan kendali apapun untuk menentukan angle tulisan. Sebagai seorang jurnalis lapangan, saya hanya mengikuti arahan dari kantor. Sebagai seorang jurnalis lapangan pula, saya harus berbesar hati memahami prinsip kantor dalam menyikapi penolakan MA atas kasasi Herry.

Penolakan kasasi Herry oleh MA sebenarnya sudah mulai diwartakan beberapa media daring sejak Selasa (3/1). Hampir semua berita yang beredar di media daring menyebut soal hukuman mati terhadap Herry dalam judul berita. Langkah sedikit berbeda — dan nyentrik — diambil Republika dengan menggunakan judul puitis-religus: Kasasi Ditolak, Herry Wirawan Segera Jumpa Malaikat Maut,[2] meski hakikatnya tetap bertumpu pada sudut pandang hukuman mati.

Penyematan frasa ‘hukuman mati’ dalam judul tidak dapat dimungkiri lagi adalah salah satu cara jitu untuk mengundang pembaca. Ada semacam suasana kengerian yang timbul saat masyarakat membaca judul tersebut. Dan biasanya, orang suka dengan hal yang mengerikan itu. Lagi pula, tidak setiap hari kita mendengar hukuman mati — sebagai hukuman maksimal dalam sistem pidana Indonesia — dijatuhkan oleh majelis hakim. Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan pemberitaan pidana mati Herry.

Walakin, saya melihat media massa terkesan mengglorifikasi hal tersebut sampai-sampai lupa soal lainnya yang lebih penting dari kasus pemerkosaan Herry. Menurut hemat saya, berita tentang kekerasan seksual harus menitiberatkan kepada korban — tentu saja tanpa menafikan hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku. Maka, dalam hal putusan pengadilan kasus pemerkosaan yang dilakukan Herry, saya lebih tertarik mewartakan hak-hak korban.

Diliputi rasa kecewa oleh sikap redaksi lewat tulisan Hukuman Mati Pantas untuk Pelaku Kejahatan Luar Biasa — yang mana saya terlibat di dalamnya — saya memberanikan diri untuk mengambil alih kemudi dengan melihat sudut pandang yang berbeda soal putusan kasasi terhadap Herry, sudut pandang yang saya pilih sendiri, tanpa arahan apapun dari kantor. Saya mulai menyisir narasumber-narasumber yang relevan untuk diberitakan. Selain Edwin, Fatahillah, dan Maidina, saya juga mengonfirmasi pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Barat soal upaya ekseksui restitusi sebesar Rp331 juta lebih kepada 12 korban.[3]

Berita yang saya tulis dan kirim ke kantor pada hari itu merupakan pengejawantahan dari upaya menggugat ruang redaksi. Sekaligus gerak-isyarat pribadi bahwa tulisan Hukuman Mati Pantas untuk Pelaku Kejahatan Luar Biasa kurang layak dimuat di koran, terlebih di halaman luar. Sayangnya, rapat redaksi pada Kamis (5/1) siang tidak memilih tulisan saya yang pada pokoknya mendorong agar restitusi kepada belasan korban Herry segera dibayar setelah putusannya inkrah alias berkekuatan hukum tetap.

Sampai titik ini, saya tidak tahu bagaimana nasib tulisan saya. Tak sampai hati juga untuk bertanya ke kantor soal tayang tidaknya berita yang saya tulis. Meski telah, “Melawan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”, saya bersikap nothing to lose saja atas tulisan sendiri.

Namun, hal yang tidak saya duga tiba-tiba datang. Sekitar pukul 18:30, rapat redaksi mengubah susunan berita yang akan tayang untuk koran edisi Jumat (6/1). Rapat memutuskan untuk menayangkan tulisan saya ke halaman 2 yang kemudian tayang dengan judul Prioritaskan Pemberian Restitusi bagi Korban. Boleh jadi, itu adalah kemenangan saya terhadap ruang redaksi.

Sikap

Saat menulis berita soal Herry, saya mencoba keluar dari narasi pro-hukuman mati. Sebab, saya percaya hukuman mati sudah saatnya dihapuskan dalam sistem pidana Indonesia. Selain usang, pidana mati juga bertentangan dengan hak untuk hidup dan hak mempertahankan kehidupan yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 maupun Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 yang telah diratifikasi lewat Undang-Undang Nomor 12/2005.

Narasi terciptanya efek jera dengan menjatuhkan pidana mati yang selama ini digembar-gemborkan pun dinilai sebatas ilusi. Peneliti ICJR Genoveva Alicia dan peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana mengatakan tidak ada data maupun penelitian yang membuktikan keefektifan efek jera tersebut. Alih-alih, hukuman mati tidak selalu berdampak signifikan untuk menekan angka kriminalitas di sebuah wilayah.[4] Bahkan, Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Andy Yentriyani menentang hukuman mati saat menanggapi penolakan MA atas kasasi Herry.[5]

Di Indonesia, eksekusi mati terakhir kali dilaksanakan pada 29 Juli 2016 untuk empat terpidana kasus narkotika, salah satunya Freddy Budiman. Berdasarkan data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) sampai akhir Januari 2022, narapidana mati yang masih menunggu dieksekusi berjumlah 404 orang.[6] Mereka menggantungkan nasib masing-masing di balik tembok penjara tanpa adanya kepastian.

Di sisi lain, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang dielu-elukan made in Indonesia telah menempatkan pidana mati sebagai hukuman yang diancamkan secara alternatif, sebagai upaya terakhir. Selain itu, penjatuhan hukuman pidana mati juga disertakan dengan masa percobaan 10 tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan dan peran terdakwa dalam tindak pidana. Bahkan jika selama masa percobaan terdakwa menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.[7]

Melihat sikap Kejaksaan Agung yang tidak memiliki program eksekusi mati; pemerintah yang menangguhkan eksekusi mati sejak 2016; dan KUHP baru yang menggariskan pidana mati sebagai pidana alternatif — dalam menanggapi judul berita Republika yang sudah saya singgung sebelumnya — tampaknya peluang Herry untuk segera berjumpa malaikat maut melalui eksekusi mati menjadi kecil.

Saya ingin bilang begini, selalu ada ruang negosiasi dalam menyampaikan hati nurani seorang jurnalis melalui tulisannya. Kadang ruang tersebut dihadirkan secara jelas, tapi lebih sering tak kasat mata sehingga perlu diraba-raba. Pada akhirnya, jurnalis bukanlah robot yang bekerja secara mekanis. Jurnalis boleh — dan halal — untuk melihat sebuah peristiwa dengan sudut pandang yang subjektif sambil menjaga kerja-kerja peliputan yang objektif.

Bekasi, 9 Januari 2023

[1] Bill Kovach & Tom Rosenstiel, The Elementes of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect, Three Rivers Press, New York, 2001, hlm. 183.
[2] Lihat Republika, Kasasi Ditolak, Herry Wirawan Segera Jumpa Malaikat Maut, 3 Januari 2023.
[3] Kesalahan terbesar yang harus saya akui adalah tidak menghubungi pihak korban.
[4] Lihat The Conversation, Pakar Menjawab: Alasan mengapa hukuman mati tidak efektif dan harus dihentikan, terlepas apapun kasusnya, 8 April 2022.
[5] Lihat Hukumonline.com, Komnas Perempuan Mengutuk Perbuatan Herry Wirawan, Tapi Tegas Menolak Hukuman Mati, 6 Januari 2023.
[6] Lihat Detik.com, Ada 404 Terpidana Mati di Indonesia yang Masih Menanti Eksekusi, 31 Januari 2022.
[7] Undang-Undang Nomor 1/2023 tentang KUHP mengatur penerapan pidana mati dalam Pasal 98–101. KUHP baru ini mulai berlaku setelah tiga tahun sejak tanggal diundangkan pada 2 Januari 2023.

--

--

No responses yet