Much ado about one thing

Saat orang-orang sudah tidur, barangkali kata-kata pun beristirahat.

NOTA PEMBELAAN
2 min readJun 22, 2023

Awal mula adalah terjaga, maka kau baru bisa menulis. Belakangan ini, kau selalu terjaga sampai batas malam. Bukan karena kopi—karena kau tidak suka-suka banget meminumnya—tapi karena ritme tidur kau yang sangat berantakan. Sebagai seorang jurnalis, harusnya kau tak butuh terjaga terlebih dulu untuk menulis. Tapi kau ingin menulis yang lain, apapun itu selain berita. Dan kau tak dapat menulis apa-apa sekarang.

Kau melihat jam, sudah pukul 02.30 rupanya. Kau mengingat-ingat kapan terakhir menulis apa pun yang selain berita. Rasanya sudah lama sekali, ya? Apa saja yang kau lakukan selama ini? Rupanya kau selalu mencari-cari alasan untuk tidak menulis apa pun selain berita. Padahal setiap ada yang bertanya, “So, do you write for living?”, kau akan menjawab, “No, I live to write.

Kau bertanya-tanya apa lagi yang bisa ditulis selain berita. Ah, saat orang-orang sudah tidur, barangkali kata-kata pun beristirahat. Kau yang kehabisan kata hanya mampu memandang sekitar. Di hadapan meja kerja ada foto ibu kau saat masih muda di Candi Borobudur, nukilan puisi Subagio, Toeti, dan yang pernah kau tulis sendiri, invoice gaji pertama bekerja di bar saat masih di Jogja enam tahun lalu, serta sketsa-sketsa buatan teman kuliah. Semua cerita lama yang tak pernah terulang.

Lalu bagaimana? Kau telah terperangkap dalam ruang yang luasnya tak lebih dari 3x3 meter, ruang yang kau sebut kamar/tempat kerja. Kau memutar kursi kerja, memandang buku-buku yang berjejer di rak yang kau rakit dari bahan sederhana. Ada berapa jumlah buku-buku itu? Kau tak pernah benar-benar menghitungnya. Sebagian besar buku tersebut kau beli saat kuliah, sisanya saat kau telah bekerja. Hanya sedikit saja koleksi dari masa SD sampai SMA, ada yang masih rapi tersegel plastik, tak sedikit yang lapuk di makan zaman (di antaranya tiga buku peninggalan kau punya kakek).

Setengah 2023 telah berlalu, sementara kau baru baca satu buku. Sekarang kau sedang membaca karya Haruki Murakami berjudul Nejimakidori Koruniku yang diterjemahkan Ribeka Ota ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Kronik Burung Pegas. Kau berhenti pada halaman 564 saat Murakami menggambarkan suasana hati Toru Okada, tokoh utama dalam novel tersebut.

Sesampai di rumah, aku duduk di depan meja makan dan minum sebotol bir sambil mendengarkan musik dari radio seperti biasa. Aku ingin mengobrol dengan seseorang. Tentang cuaca, kek, kritik terhadap pemerintah, kek, apa pun pokok pembiacaraannya boleh. Pokoknya aku mau berbicara dengan seseorang. Tapi sayangnya aku tidak bisa memikirkan seorang pun sebagai lawan bicaraku. Bahkan kucing pun tidak.

Kau kehilangan sesuatu, sekaligus mendapatkan sesuatu. Kau merindukan semuanya, sekaligus mengacuhkan semuanya. Kau adalah Toru Okada, sekaligus bukan Toru Okada. Kau mengistirahatkan kata-kata, sekaligus membangunkan kata-kata. Jika setelah ini kau tidur, dan bangun saat matahari sudah bertengger di ujung timur, kau tidak menjadi apa-apa, sekaligus menjadi apa pun yang kau inginkan.

Bekasi, 22 Juni 2023

--

--

No responses yet