Cerita dari Makassar yang tidak perlu kamu percaya
“Dugaan kami menjadi kenyataan sekarang.”
Kamu boleh percaya, boleh juga tidak dengan semua yang akan aku ceritakan di bawah ini. Jumat (9/12) siang lalu, aku melihat seorang pria, usianya kira-kira 50 tahun, kencing sembarangan di dinding salah satu rumah sakit katolik di Makassar, Sulawesi Selatan. Walaupun tak sadar aku amati, ia seharusnya awas dengan yang berdiri gagah di hadapannya.
Siapa?
Sepasang suami istri nelayan Bugis, lengkap dengan anak yang digendong sang istri, menjulang tinggi dalam bentuk patung raksasa di halaman gedung rumah sakit.[1] Mata mereka memang tak mengarah langsung ke arah pria tersebut, jadi tak intimidatif menelanjangi kelakuan orang-orang urban yang nakal.
Alih-alih, keluarga kecil itu mantap memandang Pantai Losari. Tangan kanan si anak bahkan menunjuk ke arah laut, menjadi penegas bahwa lautlah yang menghidupi mereka. “Apapun yang terjadi di daratan, kembalilah ke laut.” Demikian mungkin pikiran yang tertanam di benak keluarga nelayan tersebut.
Seorang pria kencing sembarangan di dinding rumah sakit sambil berhadapan dengan patung keluarga nelayan Bugis boleh jadi adalah omong kosong biasa di Makassar. Omong kosong lain yang luar biasa terjadi sehari sebelumnya di Gedung Pengadilan Negeri (PN). Omong kosong yang bukan saja jadi bagian sejarah kota itu, tapi juga negara.
Sejak Kamis (8/12) pagi, langit Makassar terik sekali. Desember harusnya sudah masuk musim penghujan. Semua berjalan cepat, tiba-tiba aku duduk di kursi kayu panjang ruang sidang Prof Dr Bagir Manan SH MCL PN Makassar. Aku ditugaskan meliput jalannya sidang pembacaan putusan kasus pelanggaran HAM berat pada Peristiwa Paniai yang terjadi di Papua pada 7–8 Desember 2014.
PN Makassar menjadi tuan rumah Pengadilan HAM untuk perkara tersebut sejak September 2022.[2] Ini pertama kalinya dalam sembilan tahun negara berhasil mengadili kasus pelanggaran HAM berat. Sebelum Paniai, perkara HAM berat terakhir yang disidangkan adalah kasus Abepura pada 2005 lalu, juga di pengadilan yang sama.[3]
Dalam perkara HAM berat Paniai, Mayor Inf (Purn) Isak Sattu duduk sebagai terdakwa tunggal di kursi pesakitan. Ia adalah Perwira Penghubung (Pabung) Kodim 1705/Paniai saat Peristiwa Paniai terjadi. Komnas HAM selaku penyelidik kasus HAM berat merekomendasikan jabatan Isak sebagai terduga pelaku. Namun, Pabung Kodim 1705/Paniai bukan satu-satunya jabatan yang direkomendasikan oleh Komnas HAM.
Laporannya Eksekutif Tim Ad Hoc Peneyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Paniai pada 2020 setidaknya membagi pelaku ke dalam empat kelompok, yakni komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, pelaku lapangan, dan pelaku pembiaran. Selain Pabung Kodim 1705/Paniai, ada 12 jabatan maupun anggota kesatuan lainnya yang direkomendasikan Komnas HAM sebagai terduga pelaku.
Jaksa Agung selaku penyidik kasus HAM berat Paniai menetapkan pria berusia 64 tahun itu sebagai tersangka pada awal April 2022.[4] Sampai perkara tersebut disidangkan di pengadilan, Jaksa Agung tak menambah satu tersangka pun atas persitiwa terkait pembubaran demonstrasi massa pada 8 Desember yang dipicu penganiayaan oleh anggota TNI terhadap warga sipil pada 7 Desember.
Akibat dari peristiwa tersebut, empat orang meninggal — tiga di antaranya berusia 17 tahun, satu lagi berusia 18 tahun — sementara puluhan lainnya menjadi korban luka.[5] Dan negara yang diwakilkan Jaksa Agung memaksakan Isak untuk bertanggung jawab seorang diri. Tak heran jika dalam pleidoi yang dibacakan pada Senin (28/11), Isak merasa menjadi korban fitnah.[6] Tak heran pula jika sejak jauh-jauh hari, korban dan keluarga korban memutuskan tidak akan mengawal proses persidangan tersebut.[7]
Siapa yang kamu percaya?
Aku menyimak sidang putusan bersejarah itu selama dua jam lebih dengan takzim.[8] Majelis hakim yang terdiri dari dua hakim karier dan tiga hakim ad hoc membaca surat putusan bernomor 1/Pid.Sus-HAM/2022/PN Mks secara bergantian. Sampai dua per tiga surat putusan itu dibacakan, sebuah kesimpulan sebenarnya sudah dapat diambil.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan Isak tidak terbukti memenuhi kualifikasi sebagai komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer. Setidaknya, hal itu diyakini tiga dari lima hakim. Sebab, dua anggota hakim, yakni Abdul Rahman Karim (hakim karier) dan Sofi Rahma Dewi (hakim ad hoc), mengajukan dissenting opinion — meyakini bahwa Isak memenuhi kualifikasi unsur tersebut.
Puncaknya, amar putusan dibacakan langsung oleh hakim ketua Sutisna Sawati. Isak dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pelanggaran HAM berat sebagaimana surat dakwaan yang disusun penuntut umum. Oleh karena itu, majelis hakim juga membebaskannya dari segala dakwaan.
“Memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan dan kedudukan, harkat, serta martabatnya,” ujar Sutisna di ruang sidang.[9]
Sidang pembacaan putusan terhadap Isak dibacakan tepat delapan tahun setelah Peristiwa Paniai terjadi. Keadilan yang dinanti korban dan keluarga korban selama delapan tahun itu berakhir nestapa. Tapi toh mereka sudah memprediksinya sedari awal. “Dugaan kami menjadi kenyataan sekarang,” kata pendamping korban dan keluarga korban Peristiwa Paniai, Yones Douw, dalam keterangan tertulisnya.[10]
Kamu boleh percaya, boleh juga tidak. Yang jelas, korban dan keluarga korban Peristiwa Paniai percaya bahwa sidang HAM berat Paniai digelar hanya untuk mengutamakan kepentingan negara sendiri, bukan memihak korban karena itu omong kosong bagi mereka. Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat. Putusan bebas hanya menambah luka, dari luka yang tak pernah benar-benar kering.
Lalu siapa yang kamu percaya?
Bekasi, 19 Desember 2022
[1] Patung keluarga nelayan di Rumah Sakit Stella Maris, Jalan Somba Opu, Makassar.
[2] Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM hanya menunjuk empat PN untuk menggelar Pengadilan HAM. PN Makassar berwenang untuk mengadili perkara HAM berat yang terjadi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya (sekarang Papua). Namun, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua mewajibkan pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM di Provinsi Papua dalam rangka menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati HAM. Sampai saat ini, pemerintah belum mewujudkan amanat tersebut. Padahal, masih ada dua kasus pelanggaran HAM berat di Papua lagi yang belum diselesaikan, yakni Peristiwa Wasior (2001) dan Peristiwa Wamena (2003).
[3] Lihat Tempo.co, Terdakwa Pelanggar HAM Abepura Divonis Bebas, 8 September 2005.
[4] Untuk mengetahui perjalanan kasus Paniai, silakan baca tulisanku dalam rubrik Fokus E-paper Media Indonesia, 17 Desember 2022.
[5] Surat dakwaan yang disusun penuntut umum menyebut korban luka sebanyak 10 orang, sedangkan laporan Komnas HAM menyimpulkan ada 21 orang.
[6] Lihat Kompas.com, Terdakwa Pelanggaran HAM Berat di Paniai Bacakan Nota Pembelaan dan Merasa Difitnah, 28 November 2022.
[7] Lihat VOA Indonesia, Keluarga Korban Pelanggaran HAM Berat Paniai Tolak Terlibat Persidangan, 18 Agustus 2022.
[8] Agenda sidang pembacaan vonis Isak dapat disaksikan di kanal YouTube Pengadilan Negeri Makassar.
[9] Lihat CNN Indonesia, Terdakwa Pelanggaran HAM Berat Paniai Isak Sattu Divonis Bebas, 8 Desember 2022.
[10] Lihat mediaindonesia.com, Pupusnya Harapan Korban Usai Penantian Delapan Tahun, 8 Desember 2022.